Rabu, 09 November 2016

3 Kain Khas Bali

3 Kain Khas Bali

3 Kain Khas Bali

Bali, bukan hanya indah dengan panorama alamnya yang memukau setiap pandang mata. Juga indah dengan budayanya yang masih terpelihara. Salah satu produk budaya yang patut kita banggakan adalah ragam kain khas dari Bali yang cantik dan penuh makna.

Bagi kalian yang sedang atau mau ke Bali, berikut ini bisa menjadi salah satu hal yang jangan dilewatkan:

1. Kain Gringsing, Tenganan Bali

Kain ini menjadi satu-satunya kain tenun tradisional Indonesia yang menggunakan teknik ikat ganda. Dari awal hingga akhir pengerjaan kain ini menggunakan tangan, benang yang digunakan didatangkan dari Nusa Penida karena hanya di tempat kita diperoleh kapuk berbiji satu.

Proses perendaman memakan waktu 40 hari-1 tahun sebelum lanjut ke proses ikat. Tidak heran jika pembuatan kain ini membutuhkan waktu 2-5 tahun. Motif kain gringsing hanya menggunakan tiga warna yang disebut dengan Tridatu dari pewarna alami yang berasal dari pohon kepundung putih, akar mengkudu, minyak buah kemiri dan pohon taum. Sehingga semakin tua kainnya semakin bagus warna yang muncul. Anda juga tidak perlu repot mencucinya, cukup dengan air hujan. Kain Gringsing yang dimaksudkan sebagai penolak bala ini konon berasal dari Dewa Indra. Melalui Kain Gringsing ini Anda tidak hanya bisa memahami corak budaya tetapi juga merunut sejarah budaya Bali, Tenganan khususnya.

2. Kain Cepuk, Nusa Penida Bali

Kain Cepuk termasuk kain yang sakral di Bali seperti halnya Gringsing. Cepuk dalam bahasa Sansekerta berarti kayu canging yang merupakan bahan dasar dari pembuatan kain tenun. Kain ini memiliki banyak corak motif dengan masing-masing makna yang melekat.

Warna-warna yang digunakan oleh kain ini mempunyai simbol warna penjuru mata angin yang diyakini masyarakat setempat. Kuning di Barat melambangkan Dewa Mahadewa, merah di Selatan melambangkan Dewa Brahma, putih di Timur melambangkan Dewa Iswara, hitam di Utara melambangkan Dewa Wisnu dan campuran keseluruhan warna tersebut melambangkan Dewa Syiwa di tengah. Meskipun dihasilkan di beberapa daerah di Bali, Cepuk khas Nusa Penida memiliki ciri sendiri dari benang yang digunakan. Penasaran?



3. Kain Bebali

Kain ini lebih dikenal dengan nama Wangsul  di Bali Utara dan Gedogan di Bali Timur. Bebali sendiri artinya adalah upacara sehingga kain ini hanya digunakan untuk upacara dan hanya anggota dalam tiga kasta tertinggi (triwangsa) yang mengetahui proses pembuatan kain ini. Karena berhubungan dengan keagamaan, kain Bebali ini ditenun oleh tetua perempuan yang sudah tidak lagi menstruasi atau disebut Baki.

Pembuatan kain ini melalui proses lima tahapan dengan jenis dan ragam hias yang beraneka rupa. Meskipun ragam hias kain ini bersifat geometris tetapi kain ini mempunya sisi tidak simetris di sisi kiri dan kanan yang menandakan Rwa Bhineda atau sistem dualistis seperti baik dan buruk, kanan dan kiri, dan sebagainya. Karena keistimewaannya, kain ini cukup sulit ditemukan apalagi untuk dikomersilkan.

Kain khas Bali lainnya sudah lebih dulu kita kenal seperti Kain Poleng, Kain Endek dan Songket Bali tentu tidak kalah cantik dan lebih mudah kita peroleh. Kain, turut menandakan kekayaan budaya kita yang melimpah ruah dan menjadi kebanggan tersendiri sebagai bangsa Indonesia. Menjadi tugas kita selanjutnya untuk tetap menjaga dan melestarikannya bukan?

sumber : http://citizen6.liputan6.com/read/2142040/3-kain-sakral-cantik-khas-bali
Continue reading

Selasa, 06 Agustus 2013

Kikan Eks Vokalis Cokelat Pilih Bahan Kain Tenun untuk Bisnis Aksesoris

Kikan yang terkenal melalui band Cokelat, kini mulai menggeluti bisnis baru yang berhubungan dengan kain tenun. Mulai Mei 2013 lalu, wanita kelahiran Jakarta ini membuka jualan aksesoris bermerek "Kinara". Merek Kinara merupakan kependekan dari nama lengkapnya, Kikan Namara.

"Kalau ditanya baru 6 bulan terakhir baru fokus, dari survei bahan, ngontrol tukangnya," kata mantan istri Yuke "Dewa"tersebut.

Kikan mengaku mendesain sendiri produk yang ditawarkannya, baik kalung, gelang, maupun cincin. "Saya sangat senang karena benar-benar terlibat langsung, merancang juga, semua material itu lolos seleksi dengan approval saya. Benar-benar membuat sebuah produksi sampai hal-hal paling kecil pun saya perhatikan," ungkapnya.

Meski sudah banyak toko aksesoris, Kikan tidak latah meniru mentah-mentah toko yang sudah ada. Wanita kelahiran 9 September 1976 ini menghindari batik yang sudah banyak dieksplor. Sebaliknya, Kikan memilih  kain tenun sebagai bahan baku utama, khususnya tenun Bali.

“Kain tenun belum banyak digunakan sebagai material aksesori, berbeda dengan kain batik yang sudah banyak dieksplor,” ungkap Kikan membeberkan alasan menggunakan tenun. Selain itu, Kikan memang pencinta kain tenun. "Desain motifnya simetris, edgy, dan warnanya unik," tambah Kikan.

Hasil penjualan seluruh produk aksesoris ini nantinya 10 persen akan disumbangkan untuk pendidikan anak-anak kurang mampu di daerah terpencil,” jelas sarjana desain grafis yang juga masih terus bermusik.
Continue reading

Minggu, 17 Februari 2013

Primadona Tenun Ikat Troso Jepara

tenun troso jepara
Tenuna - Selama beberapa dekade, Jepara dikenal sebagai penghasil kerajinan ukir dan mebel. Tak hanya itu, Jepara juga menghasilkan kerajinan tenun ikat, tepatnya di Desa Troso, Kecamatan Pecangaan, Kabupaten Jepara.

Letak sentra kerajinan tenun Troso tidak begitu sulit dijangkau. Dari Semarang, kita bisa mencapainya dengan kendaraan pribadi atau angkutan umum sekitar dua jam perjalanan.  Desa Troso terletak sekitar 15 KM sebelum pusat kota Jepara.

Begitu melewati gapura kawasan sentra tenun Troso, kita akan menemukan deretan toko yang memajang berbagai produk tenun. Dari kain tenun, baju, selimut, taplak, selendang sampai sarung bantal. Harganya bervariasi mulai Rp 50.000 sampai ratusan ribu rupiah. Relatif murah untuk ukuran produk tenun tradisional.
Konon, ketrampilan menenun dimiliki penduduk sejak abad VI. Ulama legendaris Mbah Datuk Gurnadi dari Singaraja Bali dipercaya sebagai orang yang pertama menyebarkan Islam dan mengajarkan keterampilan menenun.

Pada masa penjajahan Belanda dan Jepang, aktivitas menenun jarang dilakukan dan hanya membuat sarung untuk pakaian sehari-hari. Setelah kemerdekaan Indonesia dan semakin stabilnya kondisi politik, tenun mulai dijadikan aktivitas ekonomi penduduk Desa Troso. Mereka menjual hasil produksinya ke pasar-pasar besar di Kudus, Solo, Surabaya sampai Bali. Di pulau dewata inilah tenun Troso mendapat sambutan hangat.

Hingga sekarang, Bali masih menjadi pasar utama dengan pangsa pasar hampir 90%. Tak heran, motif Bali mempunyai pengaruh kuat pada tenun Troso. Selain Bali, pasar lain adalah Lombok, Flores, dan Jakarta. Saat ini, terdapat sekitar 250 pengrajin tenun Troso dari skala home industri sampai pabrik.

Selain pemasaran ke luar daerah, tenun Troso juga mulai dipasarkan di kawasan sendiri. Wisatawan mulai berdatangan untuk menyaksikan proses produksi sekaligus belanja tenun. Agen perjalanan wisata pun mulai melirik Troso dalam paket wisata Jepara untuk digabungkan dengan Karimunjawa, Pantai Kartini maupun sentra ukir.

Publikasi media massa dan generasi muda penduduk Troso yang mulai memasarkan produk tenun secara online di internet juga turut andil menjadikan tenun Troso Jepara sebagai primadona baru kain tradisional Indonesia.
Continue reading